Bild von Free-Photos auf Pixabay |
Beberapa waktu yang lalu aku sempat ngobrol sama teman
kuliahku dulu tentang gaya hidup minimalis. Obrolan kami berawal dari pertanyaan temanku
itu, sebut saja namanya Buncis, tentang buku karangan Marie Kondo yang berjudul
‘The Life-Changing Magic Of Tidying Up’. Perlu diketahui bahwa kerapian sudah mendarah
daging di diri Buncis. Jadi, kalau menurutku dia nggak perlu cari tutorial buat
beres-beres. Bener aja, setelah aku beberin ringkasan bab dari buku itu yang
menurutku paling penting buat langkah awal membereskan ‘kapal pecah’, Buncis
bilang dia sudah menerapkan semua itu. Luar biasa memang si Buncis ini.
Obrolan kami berlanjut ke penerapan gaya hidup minimalis
yang sudah kami coba lakukan. Akhir Juni lalu aku mengaplikasikan metode Konmari dari Marie Kondo dan merasakan efek dari metode ini, salah satunya
adalah lebih selektif saat berada di toko buku bagian alat tulis. Buncis
menganut prinsip ‘membeli barang (dengan kualitas) bagus lebih baik daripada
membeli banyak tapi cepat rusak’. Prinsip Buncis ini senada dengan seorang
pemuda asal Jerman yang juga seorang minimalis bernama Heiko. Heiko menerapkan
prinsip ini saat dia membeli pakaian. Heiko membeli baju dengan kualitas bagus
(dan cenderung lebih mahal) tetapi bisa dipakai untuk jangka panjang atau
berusaha memakainya untuk jangka waktu yang lama.
Lain Heiko, lain pula Jennifer. Jennifer juga seorang
minimalis asal Jerman yang membahas gaya hidup minimalis bersama Heiko di akun
Youtube miliknya. Ketika membeli baju, Jennifer lebih memilih membelinya di
second hand shop karena perputaran uang terjadi antar individu, bukan antara
individu dan pabrikan besar. Selain itu, Jennifer juga lebih nyaman berbelanja
kebutuhan sehari-hari di minimarket daripada di supermarket karena lebih
sedikit pilihan berarti lebih sedikit waktu yang diperlukan untuk berbelanja.
Aku pribadi setuju dengan cara Jennifer. Jadi, waktu yang dimiliki nggak habis
untuk kegiatan belanja aja. Bisa jadi cara ini nggak berlaku buat orang yang
suka belanja atau memang sudah mengalokasikan waktu khusus untuk berbelanja
dengan membanding-bandingkan harga lebih dulu sebelum memutuskan untuk membeli
sesuatu. Well, setiap orang punya caranya sendiri-sendiri.
Gaya hidup minimalis yang dibahas Jennifer dan Heiko nggak
berhenti di bahasan belanja aja. Lebih jauh mereka bahas tentang liburan. Menurut
Jennifer, hal yang penting saat liburan adalah kenangan bukan barang. Apa yang dikenang di memori lebih bertahan lama daripada barang yang dibeli saat liburan. Heiko
saat liburan lebih memilih untuk menikmati suasana di tempat liburan daripada
selfie. Dia juga membatasi foto yang diambil saat liburan, maksimal sepuluh foto
yang paling bagus. Heiko memberikan tips bagi mereka yang sudah terlanjur
banyak mengambil gambar saat liburan: lihat lagi semua file fotonya dan pilih
yang paling bagus, maksimal sepuluh untuk masing-masing tempat liburan. Tips
ini berguna banget buatku sebagai pemilik laptop dan ponsel dengan banyak sekali hal-hal gak berguna di dalamnya. (Tips lain dari Heiko untuk mereka yang masih ragu untuk menyingkirkan barang-barang yang mungkin-nanti-masih-akan-diperlukan-lagi: taruh barang-barang yang dirasa tidak diperlukan lagi ke dalam kardus dan masukkan ke gudang penyimpanan. Jika selama satu tahun barang itu tidak digunakan, berarti memang barang tersebut nggak diperlukan lagi.)
Media sosial menjadi hal yang dibahas Jennifer dan Heiko
selanjutnya. Apa yang dilakukan Heiko di media sosial ternyata sama dengan
yang sudah aku terapkan selama ini: berhenti berlangganan/mengikuti suatu laman/akun jika postingannya nggak menarik dan hanya menyisakan beberapa laman/akun yang isinya menarik (sesuai pendapat pribadi). Di bahasan ini
Jennifer sempat menyampaikan sebuah realita. Saat di media sosial, seseorang
sering melihat postingan orang lain dan cenderung bertanya kepada diri sendiri:
“Kenapa aku gak bisa kayak gitu?”, “Kenapa aku masih disini-sini aja?”, “Kenapa
aku gak bisa kesana sedangkan dia bisa?”. Hmmm... terlalu kepo dengan kehidupan
orang lain di media sosial itu memang gak baik buat kesehatan. Apa yang nampak di
foto atau video yang dibagikan di media sosial hanya momen satu detik atau sekian detik dari
hidup seseorang. Jika hal yang disampaikan Jennifer di atas dihubungkan dengan
prinsip Heiko dalam menggunakan media sosial dan prinsip minimalis dari Marie Kondo, bisa ditarik kesimpulan
seperti ini: akan lebih menyenangkan jika hanya mengikuti akun yang benar-benar membangkitkan kebahagiaan dan
memberikan motivasi untuk menjadi lebih baik.
Menjadi seorang minimalis berarti memiliki barang yang
memang diperlukan dan yang membangkitkan kebahagiaan aja. Menghargai prioritas orang juga jadi poin penting, misalnya seseorang bisa jadi memiliki banyak macam alat untuk menggambar karena pekerjaannya sebagai ilustrator memang membutuhkan banyak macam alat gambar. Menjadi seorang minimalis bukan berarti hanya memiliki satu matras sebagai alas tidur dan sebuah kursi untuk duduk.
🌿🌿🌿
🌿🌿🌿
Gaya hidup minimalis. Menurut gua aneh. Temen gw ada noh yang gaya hidupnya minimalis. Saking minimalisnya dia gak punya anak gara-gara gak mau repot.
ReplyDeleteNggak semua minimalist kayak temen lo juga. Marie Kondo, minimalist asal Jepang, anaknya dua. Joshua Millburn, minimalist asal LA, juga punya anak. Pilihan aja sih kalo menurut gue. Dan gue ngehormatin pendapat lo tentang gaya hidup minimalist. Hidup hidup lo ya kan. Lo bebas mau milih gaya hidup yang kayak apa.
Delete